Senin, 08 April 2019

Sendiri Diana Sendiri (2015)

Diambil dari nama tokoh utamanya, Diana (apakah nama ini terinspirasi dari lagu Koes Plus?), film pendek Sendiri Diana Sendiri menceritakan perjalanan seorang ibu rumah tangga mengambil sebuah life-changing choice setelah suaminya meminta restunya untuk menikah lagi.

Tulang wajah Diana alias Raihaanun yang indah, dilihat dari sudut mana pun enak.
Ngomong-ngomong soal poligami, sebelum seheboh sekarang, saya pertama mengenal konsep poligami melalui infotainment. Salah satu kisah yang paling saya ingat adalah ketika Aa Gym memutuskan untuk menikah lagi. Konon para fans-nya (yang mayoritas ibu-ibu) memutuskan untuk meninggalkan Aa Gym karenanya, menjadikannya terpuruk karena merosotnya jumlah job offer (mungkin peristiwa ini juga yang bermuara ke the rise of Mamah Dede). Never forget juga salah satu meme tersohor dari Parto diambil dari momen ketika para wartawan mencekokinya dengan pertanyaan perihal pernikahan keduanya. Keduanya adalah gambaran bagaimana konsep poligami dulu sempat dilihat sebagai konsep asing bagi masyarakat kita pada masanya.

Lengkapnya bisa ditonton di sini.

Tapi kini, masuk ke 2019, konsep poligami yang awalnya terasa seperti susah diterima mulai sering kita temui bentuk-bentuk kampanyenya di sekitar kita (all thanks to Fahri dan Ayat-Ayat Cinta yang sudah meromantisasi poligami). Bukan rahasia umum isu poligami hingga kini masih menjadi polemik tersendiri di Indonesia.

Di film Fedi Nuril boleh poligami, tapi di kehidupan nyata, hatinya hanya untuk oshi-nya.
Disutradari oleh Kamila Andini, salah satu sutradara perempuan Indonesia dari banyaknya sutradara pria, dan diproduseri oleh Tunggal Pawestri, seorang feminis dan juga aktivis HAM, rasanya film yang mencoba menggambarkan isu poligami di Indonesia ini dieksekusi di tangan yang benar (tidak lupa juga Babibuta Film my love yang memproduksi). Sendiri Diana Sendiri membawa penonton ke pergulatan batin Diana. Term sendiri yang diusung di judulnya pun bukan hanya menggambarkan kesendiriannya pasca ditinggalkan suaminya, namun juga ketika dia tidak mendapatkan bantuan yang dia harapkan dari keluarganya dan keluarga suaminya; "Mungkin kamu kurang ngemong.", "Nanti gimana kata orang-orang?". Mereka memang tidak sepenuhnya setuju pada isu poligami, tapi bukan berarti mereka tidak turut memojokkan posisi Diana sebagai istri. Beruntung Diana masih hidup di jaman Blackberry, bukan di jaman Whatsapp Group yang sudah langganan diinvasi meme poligami yang patriarkis.


Pergulatan batin terbesar Diana hadir karena anaknya. "Bukan aku yang butuh kamu tapi anakmu," ujaran Diana menegaskan bahwa satu-satunya alasan dia mengesampingkan perasaannya dan masih menerima suaminya di rumahnya adalah kebutuhan anaknya akan sosok ayah. Film ini merefleksikan bagaimana otonomi seorang perempuan mulai terkikis setelah hadirnya anak.

Mendokumentasikan momen dengan kamera blackberry dengan resolusi rendah adalah hal yang hype pada masanya.
Demi mempertahankan idealismenya, Diana akhirnya berkembang dari seorang ibu rumah tangga yang sebelumnya bergantung secara batin dan finansial pada suaminya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang lebih mandiri. Diana mulai mencari uang sendiri dan memiliki kehidupan sosialnya sendiri. Sebuah shot menggambarkan bagaimana Diana, walau tidak aktif berbicara, menikmati berada di perbincangan teman-teman kantornya. Lucunya, dalam shot tersebut teman-teman wanitanya tampak lebih dominan dibandingkan teman-teman prianya (yang hanya ditunjukkan sebatas dengan punggung atau wajah dari samping dengan tidak fokus). Perbincangan mengenai berat badan teman prianya pun menunjukkan bahwa Diana mulai merasakan kesetaraan posisi dari kedua gender di lingkungan kantornya. Suatu hal yang ternyata menjadi ancaman bagi suaminya. "Jadi gitu, kamu sekarang sudah bisa sendiri, gak butuh suami lagi?," ujar suaminya setelah inisiatif mengangkat galon ke dispenser. Cetusan-cetusan suami Diana memperlihatkan bagaimana suaminya adalah pengidap fragile masculinity akut.


Adegan-adegan di mana anak Diana kerap membantu ibunya (termasuk mengusir kecoa di kamar mandi) dalam mengurus rumah turut memperlihatkan bagaimana kepolosan anak dalam melihat fenomena poligami di keluarganya, "Kan sebelum-sebelumnya kita juga udah berdua aja." Cetusan dari anaknya yang mungkin sederhana dan spontan, namun sangat supportif dan heart-warming bagi seorang single mother.


Walau berdurasi hanya 40 menit, Sendiri Diana Sendiri adalah sebuah gambaran yang indah dan subtil akan bagaimana Kamila melihat kemampuan perempuan Indonesia dalam berhadapan dengan isu poligami.


Film ini meredakan rasa kangen saya akan film-film Babibuta yang merespon local issue, dan berharap akan ada kerja sama lagi antara Kamila dan Babibuta. 

Dengan shot-shot yang poetically Wong-Kar-Wai-ish, film ini justru memberikan sebuah optimisme bagi para ibu rumah tangga yang masih rentan dipandang sebelah mata di society.  Jauh lebih optimis ketimbang sebuah dokumenter VICE Indonesia mengenai isu poligami di Indonesia yang membuat saya lebih depressed.

Tidak ada yang lebih depressing ketimbang melihat perempuan yang tidak bisa stand up for themselves.

Akhir kata, ibu-ibu,  please keep in mind bahwa mengangkat galon dan mengusir kecoak itu tidak sesusah itu (kunci utama dalam mengusir kecoa adalah: jangan panik dan jangan diinjak). Setelah 4 tahun lalu berhasil mengangkat galon sendiri, rasanya statement 'Gak kuat ah, suami aja deh yang ngangkat galon', itu cuma mitos semata. Kalau dilihat memang seperti berat, tapi setelah tahu kuda-kuda dan kunciannya, ternyata tidak sesulit itu.

Video pertama kali saya angkat galon 4 tahun lalu.
Walau banyak dikritik netizen karena kuda-kudanya salah, tapi bodo amat, yang penting saya akhirnya bisa.



Kalau saya dan Melody (ex-JKT 48) bisa angkat galon, kalian juga bisa!

Kamis, 17 Januari 2019

Gerald's Game (2017)

Kembali lagi dalam episode Random Netflix Horrors sebelum tidur. Akhir-akhir ini karena sering main game-game lama via emulator di leptop dan memori penuh, hasrat mengunduh secara ilegal pun berkurang. Karena banyak beberapa judul horor di Netflix yang tidak ada di Indonesia, akhirnya judul Gerald's Game pun dipilih.


Konsep cerita dari Gerald's Game ini sebenarnya sederhana: a love trip gone wrong. Dari poster atau trailernya sudah kebayang pasti ya, apa yang terjadi. Ceritanya sendiri disadur dari salah satu karya Stephen King.


Di awal film ini sempat berasumsi film ini akan seperti Buried (2010) atau Wrecked (2010), alias film-film psychological triller dengan tema survival yang hanya memperlihatkan satu aktor, tapi ternyata tidak. Jesse diperankan oleh Carla Gugino, yang entah kenapa tiap nonton horor di Netflix dia selalu jadi wanita naas. Sebagai korban dan tokoh utama dalam film ini, Jesse kerap mengalami kejadian-kejadian schizophrenic yang membuatnya berpikir, Apakah ini nyata, atau tidak? Entah karena breakdown yang dialami saat insiden atau karena dia sendiri juga memiliki ketidak-stabilan psikis, sepanjang film pun kita akan disuguhkan kejadian-kejadian yang membuat kita memilah, mana yang hanya di pikiran Jesse, mana yang a real threat.


Track record Mike Flanagan sebagai sutradara memperlihatkan bagaimana dia memang menikmati penderitaan wanita sebagai spotlight di film-film horornya. Jadi bersiaplah untuk melihat ekspresi male gaze-nya yang dieksekusi dengan baik oleh Gugoni.


Satu jam pertama saya akui cukup membosankan (menonton aksi Jesse yang memiliki sleep disorder membuat saya jadi ingin ketiduran juga), sampai akhirnya masuk ke 30-40 menit terakhir, di mana Jessie akhirnya mengambil sebuah langkah nekat. Lumayan ngilu waktu sudah masuk sini.


Di luar ekspektasi (terutama dari sebuah karya Stephen King), Gerald's Game berakhir menjadi sebuah film dengan banyak moral. Kisah ini menjadi sebuah kisah inspiratif yang cocok diterbitkan untuk para pembaca majalah Femina atau Kartini, terutama ketika diungkapkan bahwa setiap wanita pasti pernah mengalami 'penjara-penjara' simbolis.


Jadi, moral dari film ini terutama bagi para perempuan adalah: (1) Kenali dulu calon pasanganmu sebelum menikah, (2) Selalu speak up kalau kamu mengalami pelecehan seksual, (3) Jangan pernah lupa tutup pintu. 6 dari 10.

Ps. The guy who played The Moonlight Man is the same guy who played Frankenstein in The Addams Family! Kangen deh.

Minggu, 13 Januari 2019

Creepy (2016)

Sebagai seorang fan, entah kenapa dua film terakhir Kiyoshi Kurosawa yang saya tonton (termasuk film ini) selalu memberikan efek yang kurang memuaskan.


Diadaptasi dari sebuah novel karangan Yutaka MaekawaCreepy menceritakan mengenai kisah aneh yang dialami oleh sepasang suami-istri di rumah baru mereka. Kejadian-kejadian mencurigakan tapi yang berakhir dengan 'Ah kamu mah suudzon aja' ala ibu-ibu kerap terjadi setelah mengenal tetangga baru mereka, Nishino.


Koichi Takakura, sang suami yang juga mantan detektif, merasa keanehan tetangganya mempunyai korelasi dengan kasus yang tengah ditelitinya; hilangnya satu keluarga dengan tiba-tiba dari rumah mereka. Seiring tenggelamnya Koichi dalam kasus yang ditelitinya, dia pun tidak menyadari bahwa dia dan istrinya telah menjadi calon korban berikutnya dari kasus yang sama.


Semakin Creepy menceritakan akan bagaimana Nishino mendekati dan memanipulasi tetangga barunya, semakin sosoknya mengingatkan saya akan The Cable Guy dan Funny Games. Jenis 'gangguan' yang saking tampak 'biasa saja' dan smooth-nya, rasa-rasanya bisa terjadi pada siapa saja. Karakter Nishino sendiri, menurut Kurosawa, terinspirasi oleh sebuah mitos di Jepang akan roh halus yang bergentayangan di antara hutan dan perumahan. Sayangnya perkembangan konsep 'tetangga yang mengganggu' di Creepy semakin lama seperti kurang logis, ditambah karena (entah kenapa, ya) semua tokoh perempuan yang ada di film ini tampak dungu dan unreliable, rasanya film ini berakhir menjadi lebih ke annoying ketimbang disturbing.


Untuk soal environment, Kurosawa memang patut diacungi jempol. Dalam sebuah interview, Kurosawa menjelaskan bahwa dalam membangun environment di Creepy, unsur yang paling dia tonjolkan adalah angin. Tidak diragukan lagi, untuk soal slow burn horror memang Kurosawa ahlinya. Tapi sayang, visual Creepy yang One Perfect Shot-able tidak bisa menghentikan gagalnya storyline Creepy  untuk memberikan after effect kengerian pada saya, seorang ibu rumah tangga yang juga baru pindah rumah.


Kurosawa-sensei, maaf, memang katanya makin sayang itu makin mudah dikecewakan. Saya sayang kamu tapi sumimasen, Creepy is a 7.1/10 for me.